Latest News

Perang Suriah-Turki di ambang Pintu

Ambang Perang Suriah-Turki
Azyumardi Azra

Oleh : Azyumardi Azra
BERITA TERKINI, Eskalasi perang saudara di Syria kian mencemaskan dalam beberapa pekan ini ketika aksi militer rezim Bashar Assad mulai melibatkan Turki. Pekan lalu, beberapa mortir Syria menghantam Akcakale, sebuah kampung Turki di wilayah perbatasan sebelah utara Syria, yang menewaskan lima warga sipil Turki. Di tengah seruan internasional agar menahan diri, militer Turki melakukan serangan balasan di daerah perbatasan. Pada saat yang sama, parlemen Turki menyetujui serangan lebih masif terhadap Syria jika perlu.

Perkembangan memprihatinkan ini dapat berujung pada perang terbuka antara Syria dan Turki yang merupakan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Limpahan (spill over) operasi militer rezim Bashar Assad terhadap kekuatan perlawanan Syria juga dapat menjangkau ke selatan—perbatasan dengan Lebanon dan Yordania. Jika ini terjadi, kawasan barat Timur Tengah kembali menjadi kumpulan bara panas yang kian sulit dipadamkan.

Dengan demikian, sejak gejolak perlawanan terhadap Presiden Bashar Assad meningkat pada Maret 2011, penyelesaian krisis Syria terlihat makin jauh. Bahkan, Utusan Khusus PBB untuk (penyelesaian krisis) Syria, Lakhdar Brahimi, yang diangkat menggantikan Kofi Annan, juga kelihatan tidak berdaya apa-apa. Korban terus berjatuhan. Berbagai lembaga internasional memperkirakan sekitar 31 ribu orang—terutama warga sipil—tewas sejak pergolakan terjadi. Meski terlihat kekuatan perlawanan meningkat, mereka tampaknya sulit melawan kekuatan militer rezim Bashar Assad sehingga majalah Newsweek (17/9/2012) menyebutnya sebagai “David and Goliath in Syria”.

Meningkatnya krisis di Syria dan negara-negara di sekitarnya, yang umumnya adalah negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim, mencerminkan sejumlah hal tidak menguntungkan.

Pertama, kealotan rezim Bashar Assad, yang tidak sungkan mengorbankan para warga pembangkang demi mempertahankan kekuasaannya, yang cepat atau lambat pasti berakhir. Berbagai proposal dan skema penyelesaian damai yang disodorkan PBB, Liga Arab, dan kalangan internasional lain tidak mampu melunakkan hatinya.

Kedua, eskalasi perang di Syria, sekaligus pula memperlihatkan kegagalan mediasi internasional. Lembaga-lembaga internasional multilateral, seperti PBB, juga gagal menghentikan perang di Syria. Negara-negara di PBB pun terpecah belah. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa ingin memberlakukan tindakan internasional lebih keras dan tegas terhadap rezim Bashar Assad. Namun, ada pula blok Rusia dan Cina yang selalu menolak campur tangan internasional di Syria.

Ketiga, di tengah pembelahan kedua kubu itu, negara-negara Barat, AS dan sekutu-sekutunya, memilih untuk tidak mengerahkan kekuatan militer mereka ke Syria. Mengapa sikap mereka berbeda dengan ketika menghadapi krisis Lybia pada 2011? Ini terkait dengan krisis keuangan dan ekonomi yang terus berlanjut di banyak negara Eropa dan musim pemilu presiden di AS.

Presiden Barack Obama yang berkonsentrasi untuk bisa terpilih kembali, cenderung bersikap lunak (lenient) dalam banyak kebijakan luar negerinya sehingga menjadi sasaran kritik banyak pihak di AS sendiri, termasuk dari capres Partai Republik, Mitt Romney. Inilah sikap tipikal Partai Republik yang cenderung hawkish, galak seperti elang; berbeda dengan Partai Demokrat yang cenderung dovish, burung merpati yang lembut.

Keempat, krisis Syria juga mencerminkan konflik politik di antara negara-negara Arab khususnya. Arab Saudi dan Qatar, yang dilaporkan sebagai pemasok dana terbesar dalam kekuatan perlawanan terhadap Presiden Bashar Assad. Kedua negara ini menolak keterlibatan Iran dalam usaha penyelesaian konflik Syria, bukan hanya karena faktor Presiden Ahmadinejad yang tidak mereka sukai, melainkan adanya kekuatan Hizbullah (Syi'ah) di Lebanon, tangan kanan Bashar Assad, yang Syi'ah Allawiyah dan sekaligus Ba'athis-Sosialis. Di sini terlihat sektarianisme keagamaan turut menjadi motif tersembunyi dalam sikap Pemerintah Arab Saudi dan Qatar serta Pemerintah Syria.

Dalam kondisi tersebut, pemerintahan Presiden Mursi, Mesir, tidak berdaya menengahi konflik di antara Arab Saudi dan Qatar pada satu pihak dengan Iran di pihak lain. Hal ini terutama karena daya tekan (leverage) Mesir terhadap negara-negara Arab lain, apalagi terhadap Iran, berkurang secara signifikan karena kondisi politik yang masih belum stabil pada masa pasca-Mubarak.

Dalam situasi yang serba tidak menguntungkan itu, bisa dipastikan pihak yang paling diuntungkan adalah Israel. Krisis di Syria dan konflik di antara negara-negara Arab membuat rezim PM Netanyahu bisa lebih leluasa dalam menghadapi Palestina sehingga membuat perdamaian di tanah Palestina semakin jauh dari jangkauan. Pada saat yang sama, Israel meningkatkan tekanan kepada Iran yang diklaimnya terus melanjutkan pengayaan uranium untuk menghasilkan senjata nuklir. Jadi, hari-hari esok masih sangat sulit di Timur Tengah.

Sumber : Republika.online
  • Komen yuk!!, jangan lupa centang "Also post on Facebook" :)
  • BERITA TERKINI Designed by Templateism.com Copyright © 2014

    Theme images by Bim. Powered by Blogger.